Jumat, 23 Juni 2017

Characterization Of A Hydrolyzed Oil Obtained From Fish Waste For Nutraceutical Application

Mia Rinawati (141211133088), Ardiana Rahma S. (141411133080), M. Hasta Cahya P. (1414111133047)

Pendahuluan
Saat ini, industry pengolahan ikan menghasilkan lmbah dengan jumlah yang besar. Residu ikan yang dihasilkan sangat berpotensi untuk dikembangkan kembali menjadi suatu produk. Residu ikan sendiri masih mengandung asam lemak esensial, salah satunya yang berantai panjang (C20 dan C22), yang disebut polyunsaturated  fatty acid (PUFA). Recovery dari residu ikan ini dapat membantu mengurangi polusi lingkungan ((Benites & Souza-Soares, 2010). Banyaknya residu ikan yang digunakan untuk pembuatan minyak ikan adalah 3L.

Metode
Metode perolehan minyak ikan meliputi proses refining, karakterisasi fisiko-kimia, reaksi alkoholisis, dan penurunan asam lemak. Limbah residu ikan yang digunakan sebanyak 3L. Proses refining meliputi  degumming, netralisasi, pengeringan, bleaching, deodorisasi dan winterisasi (Crexi et al., 2010). Netralisasi merupakan penghilangan property kimia, bleaching adalah penghilangan komponen kimia. Deodorisasi dan winterisasi merupakan proses penambahan karbon aktif untuk menambh nilai asam lemak pada minyak ikan.

Hasil dan Pembahasan
Karakterisasi fisiko-kimia. Sampel minyak ikan mentah menunjukkan perbedaan yang signifikan pada Indeks oleokimianya setelah refining. Nilai analisis minyak sulingan lebih rendah dari pada minyak mentah melalui persentase bebas Asam lemak (% FFA), keasaman, yodium dan saponifikasi. Namun, nilai signifikan lebih tinggi untuk semua indeks dicatat setelah dilakukan reaksi hidrolisis minyak.
 
Menurut Erickson (1995), kualitas bahan baku yang berasal dari residu lemak ikan sangat penting untuk memenuhi parameter kualitas indeks oleokimia (indeks iod, saponifikasi, peroksida sampel mentah dan sampel halus), yang dijelaskan pada Tabel 2, yang menunjukkan nilai yang sama satu sama lain.
Profil methyl-fatty acid. Dianggap bahwa profil asam lemak metil dari residu minyak ikan khusus olahan dan minyak ikan khusus yang dihidrolisis berbeda nyata (p <0,05) untuk dua proses penyulingan dan hidrolisis, yang terakhir dengan jumlah tak jenuh ganda tertinggi. Jumlah utama dari asam lemak berikut ini diidentifikasi: asam lemak jenuh C16: 0 (asam palmitat), asam lemak tak jenuh tunggal (MUFA) dan PUFA (C18: 1n-9 atau asam oleat, C20: 5n3 atau EPA, C22: 6n3 atau DHA dan C20: 4n-6 atau arakidonik), yang karakterasinya diberikan pada minyak ikan air tawar (Guler et al., 2008; Crexi et al., 2010). Asam lemak yang paling melimpah adalah arachidonic, eicosapentaenoic, docosahexaenoic dan oleic acid. Minyak terhidrolisis menunjukkan konsentrasi PUFA yang lebih tinggi (32,78%) dibandingkan minyak hasil refining (19,44%).
 
 
Simopoulos (2002) menentukan rasio asam lemak n-6 / n-3, dan menyimpulkan bahwa nilainya berkisar antara 1 sampai 1/5 dan bahwa penyakit degeneratif sistemik telah berkurang, yang menyoroti pentingnya mempertimbangkan data ini sebagai parameter evaluasi nutrisi lipid dengan jenis asam lemak yang tertelan dalam makanan.
Gambar 2 menunjukkan kromatogram minyak terhidrolisis dari residu ikan industri yang menunjukkan adanya konsentrat EPA (C20: 5n-3) dan DHA (C22: 6n-3) setelah alkoholisasi. Menurut Padilha & Augusto-Ruiz (2007), minyak ikan industri umumnya diperoleh dengan proses hidrotermal dari spesies pelagis, sehingga komposisinya bervariasi sesuai spesies dan bahkan menurut musim, jenis kelamin, siklus reproduksi, antara lain. Ikan pelagis, karena kondisi hunian dan pembentukan ikan besar, sangat penting bagi industri dan tampaknya merupakan sumber terbaik EPA dan DHA (Gonçalves & Souza-Soares, 2000).

Kesimpulan
Disimpulkan bahwa proses yang diadopsi dalam perlakuan penyulingan minyak ikan kasar cukup memuaskan setelah analisis fisik fisik. Hal yang sama terjadi setelah hidrolisis minyak, di mana konsentrasi asam lemak tak jenuh ganda (PUFA) telah diawetkan dengan persentase 32,78% dibandingkan dengan 19,44% PUFA dari minyak ikan olahan, selisih 13,34%, yang membuktikan efisiensi Dari proses ini sebagai tahap utama untuk mendapatkan ester asam lemak. Komposisi kimia itu signifikan
dengan 32,78% asam lemak tak jenuh, yang memungkinkan pengembangan industri produk coproduct alternatif baru bermanfaat bagi permintaan produksi nutraceutical dan makanan yang diperkaya.



Daftar Pustaka
Benites, C. I., & Souza-Soares, L. A. (2010). Farinhas de silagem de resíduo de pescado co-secas com farelo de arroz: uma alternative viável. Arquivos de Zootecnia, 59, 447-450.
Crexi, V. T., Monte, M. L., Soares, L. A. S., & Pinto, L. A. A. (2010). Production and refinement of oil from carp (Cyprinus carpio) viscera. Food Chemistry, 119(3), 945-950. http://dx.doi.org/10.1016/j.foodchem.2009.07.050.
Gonçalves, A. A., & Souza-Soares, L. A. (2000). Efeitos do processamento e armazenamento na fração lipídica do pescado. Vetor, 10, 93-112.
Simopoulos, A. P. (2002). Omega-3 fatty acids in inflammation and autoimmune diseases. Journal of the American College of Nutrition, 21(6), 495-505. http://dx.doi.org/10.1080/07315724.2002.1071924 8. PMid:12480795.

Jurnal pendukung ==>Referensi

Keyword : fish, fisheries, marine, fatty acid, acid, airlangga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar